Profesi Dalam Bidang Pendidikan


Profesi Dalam Bidang Pendidikan

LATAR BELAKANG MASALAH

Profesi dalam bidang pendidikan;
Pendidikan ialah suatu perjuangan sadar untuk menyiapkan peserta didik biar berperan aktif dan positif dalam hidupnya kini dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia ialah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jenis pendidikan ialah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan kegiatan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya mencakup landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan atau tenaga profesi dalam bidang pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka sanggup difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya harapan pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. UU No.20/2003 perihal Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
dan ini bila dipahami lebih rinci akan bertumpu pada kiprah utama profesi dalam bidang pendidikan.

Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial.  hal ini akan mempengaruhi dari profesi dalam bidang pendidikan, Political will sebagai suatu produk dari direktur dan legislatif merupakan aneka macam regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, maupun dalam regulasi derivatnya menyerupai UU No.2/1989 perihal Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 perihal Guru dan Dosen, PP No.19/2005 perihal Standar Nasional Pendidikan, serta aneka macam rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb

Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran evaluasi bahwa sistem pendidikan di Indonesia ialah yang terburuk di daerah Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk problem stabilitas dan keamanan, lantaran pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di daerah Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh forum yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai mempunyai sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001). kondisi ini menjadi materi untuk berbagi profesi dalam bidang pendidikanKondisi ini mengambarkan adanya kekerabatan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya insan indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.

PERMASALAHAN

Profesi Dalam Bidang PendidikanDalam memetakan kasus pendidikan, maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks.dimana kasus tersebut sangat berkaitan dengan profesi dalam bidang pendidikan. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem ialah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh aneka macam aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat dekat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks mengambarkan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari aneka macam perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, aneka macam perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh aneka macam stakeholder yang terkait.


 Permasalahan Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem

Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan hemat (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang sanggup diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang mempunyai dana dalam jumlah besar saja.

Hal ini sanggup dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 perihal Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk tubuh aturan pendidikan. (2) Badan aturan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memperlihatkan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan aturan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan sanggup mengelola dana secara berdikari untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan mencakup kiprah serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat sanggup berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional ketika ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan prosedur BHP (lihat RUU BHP dan PP perihal SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah mempunyai otonomi untuk memilih sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, jalan masuk rakyat yang kurang bisa untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin. 

Profesi Dalam Bidang Pendidikan;Kenyataan yang mengambarkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas ialah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan berdasarkan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya pribadi dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada ketika yang sama pemerintah India telah sanggup menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan bila dibandingkan dengan negara yang lebih ndeso menyerupai Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com)
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat ketika ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini sanggup dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 3 yang mengambarkan paradigma pendidikan nasional, dalam penggalan VI menjelaskan perihal jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu sanggup pula dilihat dalam regulasi derivatnya menyerupai PP perihal SNP No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.

Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan berguru siswa sehabis menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan ketika ini ialah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat sempurna untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan bakir balig cukup akal (pelajar) yang di antara jadinya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, sikap sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan aneka macam tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan gosip kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang mengambarkan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk insan indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), lantaran realitas justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai penggalan dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka biar sanggup lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun lantaran kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekulerisme yang makin meluas.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan direktur dan legislatif termasuk dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung semenjak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai kegiatan kapitalisme global yang telah dirancang semenjak usang oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi tubuh aturan pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Profesi Dalam Bidang Pendidikan;Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai pola kebijakan Mendiknas, Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun fatwa 2005/2006 ternyata berkaitan dengan dana yang tersedia untuk kegiatan tersebut sangat besar, padahal aneka macam aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya, Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 perihal Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata dekat kaitannya dengan imbas dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan penggalan dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia ketika ini.


Permasalahan Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Kompleks

Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan yang ketika ini tengah berkembang diantaranya tergambar dengan pemetaan sebagai berikut:
Sumber : Disdik Provinsi Jawa Barat (Makalah Seminar Pendidikan Nasional-UPI Expo 2006)
Oleh lantaran itu, berdasarkan pemetaan di atas maka kasus pendidikan nasional sanggup diuraikan sebagai berikut:

Pemerataan Pendidikan

1. Keterbatasan Aksesibilitas dan Daya Tampung
Gerakan wajib berguru 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang gres dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan sasaran tuntas pada tahun 2005, namun kemudian lantaran terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka kegiatan ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran kegiatan ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 ialah dengan sasaran Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan sasaran Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas ialah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK Sekolah Menengah Pertama gres mencapai 85,22% yang mengambarkan adanya selisih 9,78% dari sasaran 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).

Profesi Dalam Bidang Pendidikan;Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak sanggup mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib berguru akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK Sekolah Menengah Pertama pada selesai 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen sasaran yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).

Profesi Dalam Bidang Pendidikan;Kondisi ini bersama-sama belum mengambarkan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menuntaskan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, lantaran indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, memperlihatkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun ialah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan tanda-tanda serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com)


 Kerusakan Sarana/ Prasarana Ruang Kelas

Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan sanggup berlangsung secara efektif? Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan proposal yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas.
Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si (PR,15/07/2005), berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap tahun kebutuhan biaya menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI saja butuh dana sebesar Rp 251 miliar, terdiri dari penambahan ruang kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6 miliar, rehab total ruang kelas sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar dan rehabilitasi sedang ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar. Kemudian kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat SD/MI sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya pembangunan dan rehabilitasi ditambah penanggulangan drop out SD/MI saja setiap tahunnya mencapai Rp 410 miliar. Sedangkan kemampuan anggaran pemerintah untuk pembangunan pendidikan di Jabar hanya bisa untuk mengantisipasi kedua hal tersebut. Adapun kemampuan daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan setiap tahunnya hanya antara Rp 5 miliar hingga Rp 25 miliar, anggaran tersebut hanya akan menjangkau kebutuhan minimal.
Klaim bahwa pemerintah daerah di lingkungan jawa barat mempunyai kemampuan yang terbatas dalam menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas, tentu merupakan koreksi bagi pemerintah itu sendiri, yaitu mengapa selama ini alokasi untuk kegiatan yang lain alokasinya cukup besar, tetapi untuk kegiatan pendidikan jauh lebih kecil. Sebagaimana contohnya dalam APBD Kota Bandung 2007 alokasi anggaran untuk sebuah tim sepakbola Persib Bandung yang lebih bersifat hobi dan penghamburan ketimbang suatu kegiatan pembangunan besarannya ternyata mencapai Rp 15 Milyar, bahkan jumlah tersebut masih dianggap kurang.


Kekurangan Jumlah Tenaga Guru


Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga kini ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai pola dalam lingkup Jawa Barat saja berdasarkan Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi problem nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini terang merupakan problem serius lantaran guru ialah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut menciptakan beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.

Profesi Dalam Bidang Pendidikan;Sementara itu Dany Setiawan mengungkapkan bahwa ketika ini terdapat kasus kekurangan guru sebanyak 88.500 lebih terutama untuk jenjang pendidikan dasar di Jabar, sementara di sisi lain sebanyak 48.000 guru bantu tengah menanti pengangkatan, dimana problem pengangkatan guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merupakan wewenang pusat. Untuk sementara, melalui APBD pemprov jabar telah menganggarkan tenaga guru bantu sementara yang diberikan tunjangan sebesar Rp 1 juta per orang. Namun, jumlahnya yang hanya kurang lebih 1.500 tentu saja masih belum bisa menutupi kekurangan yang mencapai 80 ribu lebih.

Pengelolaan dan Efisiensi

Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya dikelompokan berdasarkan tiga hal yaitu:

Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal

Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 perihal Guru dan Dosen, pasal 14 hingga dengan 16 menyebutkan perihal Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan ialah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, aneka macam akomodasi untuk meningkatkan kompetensi, aneka macam tunjangan menyerupai tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta aneka macam maslahat pemanis kesejahteraan.
Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya. Sebagai contoh, Kompas (6/2/2007) memberitakan bahwa sejumlah guru di Kota Bandung menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang berencana memperberat penerimaan insentif rutin dan mengaitkan dengan syarat sertifikasi. Pandangan keberatan ini beberapa di antaranya dilontarkan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandung Kustiwa dan Sekretaris Jendral Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung Iwan Hermawan. Keduanya sependapat, tunjangan fungsional tidak ada kaitan sama sekali dengan syarat sertifikasi guru. Hal ini lantaran keberadaan tunjangan fungsional dan profesi secara prinsip sebetulnya tidak saling terkait. Tunjangan fungsional lebih dianggap sebagai kebijakan yang menempel secara otomatis pada profesi guru, terlepas sejauhmana profesionalnya bersangkutan. Jadi, terang berbeda dengan tunjangan profesi yang pada prinsipnya bertujuan memacu profesionalitas guru.

Profesi Dalam Bidang Pendidikan:Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai kiprah dalam menciptakan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru mendapatkan honor bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan menyerupai itu, terang saja, banyak guru terpaksa melaksanakan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan.
Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Guru sebagai tenaga kependidikan juga mempunyai kiprah yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan sanggup memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pertolongan reward dan punishment yang sesuai merupakan masalah yang sanggup mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik biar sanggup meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi aneka macam kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.

Proses Pembelajaran Yang Konvensional

Profesi Dalam Bidang Pendidikan; Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk berbagi model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 perihal standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 hingga dengan 22 perihal standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memperlihatkan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga sanggup mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien
Profesi Dalam Bidang Pendidikan: Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa sanggup berbagi model-model
pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 perihal SNP dalam pasal 42 perihal Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib mempunyai sarana yang mencakup perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber berguru lainnya, materi habis pakai, serta perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Profesi Dalam Bidang Pendidikan;Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun 2007 ini, pemerintah melalui Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) Dana BOS buku 2007 akan dicairkan lantaran dana BOS buku tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan dana BOS buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat kabupaten/kota. Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. Kaprikornus kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat SD maupun Sekolah Menengah Pertama sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang dibeli juga harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Jumlah penerbit yang telah mendapatkan akta dan sesuai berdasarkan Permendiknas No. 11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit tersebut bila dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit, bahasa Indonesia sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit (www. Klik-galamedia.com, 08 Februari 2007).

semoga bermanfaat bgai kita-kita selaku guru  atau pendidikan dan pemerhati " Profesi Dalam Bidang Pendidikan" salam sukses 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Anak Melalui Permainan

Memotivasi Anak Yang Tidak Dapat Berinteraksi Dengan Baik

Pendidikan Anak Melalui Permainan